Likaliku Mudik Lebaran dari Masa ke Masa


Berikut adalah artikel atau berita tentang otomotif dengan judul Likaliku Mudik Lebaran dari Masa ke Masa yang telah tayang di apurboitservices.me terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Dengan kata lain, mudik tahun ini sudah mendekati suasana normal. Tidak heran jumlah masyarakat yang memutuskan untuk pulang kampung saat Lebaran setelah pemerintah mengizinkan mudik bertambah.

Hasil Survei Potensi Pergerakan Orang Lebaran 2022 yang dilakukan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan 85,5 juta orang akan mudik tahun ini. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan hasil survei sebelum pemerintah mengizinkan mudik, yakni sebesar 79,4 juta orang pada survei kedua dan 55 juta orang pada survei pertama.

Tingginya antusiasme masyarakat untuk mudik di masa pandemi tahun ketiga tersebut bahkan hampir menyerupai kondisi normal atau sebelum pandemi. Jika dibandingkan tahun 2019, jumlah pemudik yang diperkirakan pada tahun ini hampir sama dengan saat itu.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Penumpang bejubel di peron Stasiun Gambir, Jakarta, menunggu kereta api yang akan mengangkut mereka mudik ke kampung halamannya (13/9/1977). Karcis yang dijual tanpa tanda tempat duduk secara tak terbatas menyebabkan keadaan yang demikian itu. Akibatnya para penumpang berebut untuk bisa naik lebuh dulu ke dalam kereta.

Mengambil contoh perbandingan jumlah pemudik dari wilayah Jabodetabek, tahun ini, tepatnya setelah pemerintah memperbolehkan mudik Lebaran, diperkirakan ada mobilitas 14,3 juta orang pada masa Lebaran. Jumlah tersebut sama dengan hasil survei pemudik pada 2019.

Banyaknya jumlah pemudik ini tidak mengherankan lagi. Sebab, mudik memang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia menjelang Lebaran. Apalagi saat tahun pertama dan kedua pandemi, mudik dilarang karena penularan Covid-19 tinggi sehingga persyaratan mobilitas masyarakat juga masih ketat.

Kendati sudah menjadi tradisi, tidak mudah bagi masyarakat untuk merelakan dua tahun pandemi tanpa mudik. Semasa itu, banyak masyarakat yang tetap memilih untuk mudik saat Lebaran. Menurut survei Kemenhub pada tahun-tahun tersebut, setidaknya 3,5 juta orang mudik pada 2020 dan 3,1 juta orang pada 2021.

Berbagai cara dilakukan demi pulang kampung. Ada pemudik yang nekat bersembunyi di dalam bus dan toilet bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dari Jakarta menuju Jawa Tengah untuk menghindari pemeriksaan di pos pengaman. Ada yang sampai menyembunyikan motor ke dalam truk agar terhindar dari pengecekan petugas.

Masa lalu

Lika-liku mudik di masa pandemi memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dapat dikatakan, pandemi menjadi salah satu halangan besar sepanjang tradisi mudik dilakukan. Namun, hal ini justru semakin menjelaskan betapa mudik penting bagi masyarakat Indonesia.

Bukan kali itu saja sebenarnya perjuangan berat untuk mudik harus dilakukan masyarakat. Di masa lalu, mudik tidaklah semudah saat ini. Kesulitan yang paling kentara adalah persoalan transportasi.

Berdasarkan penelusuran arsip Kompas, pelaksanaan mudik Lebaran selalu berhadapan dengan masalah kurangnya sarana prasarana, biaya dan keamanan pemudik saat menggunakan transportasi publik. Sebagai gambaran, pada 1960-1970 hanya sedikit pilihan transportasi yang tersedia untuk mudik. Kereta api dan bus menjadi primadona pemudik saat itu untuk membawa mereka ke daerah asal. Kendaraan pribadi, seperti motor dan mobil, tidak sebanyak saat ini.

Pesawat belum menjadi alternatif bepergian kala itu. Jika ada yang menggunakannya, pastilah mereka dari kalangan pejabat ataupun kelompok menengah atas. Mudik menggunakan pesawat baru disebut-sebut pada 1980-an.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Arus mudik di terminal bus antar kota Pulo Gadung, Jakarta (28/3/1992). Tercatat ada 672 bus yang melayani 32.023 orang pemudik.

Karena itu, sorotan terhadap angkutan mudik terfokus pada kereta api dan bus. Cerita tentang betapa sulitnya mudik menggunakan kereta api dan bus menjadi keresahan masyarakat saat itu. Pewarta foto Kompas, Kartono Ryadi, dalam artikelnya berjudul ”Tersiksa dalam Kereta Api Lebaran” yang dimuat Kompas pada 27 November 1971 menggambarkan betapa sulitnya mudik menggunakan kereta api.

Untuk mudik menggunakan kereta, pemudik harus berebut tiket. Berbeda dengan sekarang yang memiliki sistem pemesanan dan pembelian tiket dengan rapi bahkan bisa didapatkan secara daring. Pada masa itu, tiket yang jumlahnya tidak seberapa sering kali habis.

Habisnya tiket itu juga disebabkan oleh adanya calo. Pemudik yang membeli tiket dari calo tersebut harus mengeluarkan biaya lebih besar. Sebagai gambaran, harga tiket kereta jurusan Stasiun Gambir, Jakarta, ke Semarang, Jawa Tengah, pada 1971 yang dijual resmi adalah Rp 570. Sementara harga yang ditawarkan oleh calo sebesar Rp 950.

Belum lagi situasi di kereta sangat tidak mengenakkan. Kereta penuh sesak penumpang dan pedagang yang dengan bebas keluar masuk gerbong. Penumpang yang tidak mendapat tempat duduk harus siap berdiri. Saking penuhnya, penumpang yang berdiri sampai tidak dapat menggeserkan kaki.

KOMPAS/ FRANSISKUS PATI HERIN

Ribuan pemudik menggunakan KM Tidar yang bersandar di Pelabuhan Yos Soedarso, Kota Ambon, Maluku (20/7/2014). Kapal itu diberangkatkan dengan tujuan Pulau Maluku, Kepulauan Aru, dan sejumlah wilayah di Papua.

Kereta pun masih menggunakan kipas angin yang sering kali mati karena kinerja mesin kereta tidak optimal. Dengan mesin seadanya, kereta melaju lambat. Pada 1960-an, perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta menggunakan kereta menghabiskan waktu 24 jam. Dibandingkan saat ini, waktu tersebut dapat digunakan untuk tiga kali perjalanan Jakarta-Yogyakarta karena hanya membutuhkan waktu sekitar 8 jam untuk sekali perjalanan.

Keruwetan mudik menggunakan kereta seperti itu masih tampak hingga dekade 2000-an sebelum PT KAI melakukan pembenahan layanan pada 2012. Berkat perbaikan layanan tersebut, pemudik dapat memesan tiket jauh-jauh hari sebelum masa mudik Lebaran. Mereka yang sudah mendapat tiket pasti mendapat tempat duduk. Kereta pun lebih nyaman dengan pendingin ruangan, restorasi, bahkan tersedia layanan Wi-Fi.

Lihat juga: Puncak Arus Mudik dengan Kereta Api Diprediksi Tanggal 29 April

Cerita susah payah mudik serupa dialami pemudik yang menggunakan bus untuk pulang kampung. Nasib telantar di terminal ataupun di perjalanan kerap kali dialami, bahkan hingga sekarang. Seperti tercatat dalam arsip Kompas pada 21 Maret 1993, ribuan penumpang di Terminal Pulogadung menunggu tersedianya bus tanpa kepastian. Bahkan beberapa penumpang rela bermalam di terminal agar mendapat tiket.

Keamanan penumpang juga menjadi isu yang terus diperhatikan selama masa mudik Lebaran. Sebab, sering kali di terminal ataupun di bus penumpang mendapat ancaman, pencurian, ataupun tindak penipuan. Sebagai contoh, pada 29 September 1976 terjadi kasus seorang penumpang bus jurusan Jakarta-Semarang diperas oleh kondektur bus dan calo. Mereka memaksa penumpang itu membayar ongkos sebesar Rp 4.500, sementara harga resmi karcis hanya Rp 2.100.

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Hasrat besar untuk pulang kampung bertemu sanak keluarga merayakan Indul Fitri bersama, membuat para pemudik yang naik kereta api dari Stasiun Senen meninggalkan Jakarta pada 16 Februari 1996 menuju Surabaya ini, rela berjejal-jejal di gerbong barang yang gelap, panas dan pengap tanpa ventilasi udara yang memadai.

Tradisi

Meskipun harus berpeluh- peluh melawan kesesakan penumpang atau kemacetan jalanan, tidak ada yang dapat mengurangi semangat untuk mudik. Dari masa ke masa, mudik selalu menjadi momen yang paling dinanti.

Bukan hanya karena sudah menjadi kebiasaan, melainkan mudik juga sudah menjadi cara hidup atau way of life masyarakat Indonesia seperti yang disebutkan ahli migrasi penduduk Universitas Gadjah Mada, Ida Bagus Mantra. Menurut dia, kegiatan mudik sulit dicegah apa pun kendalanya. Betapapun beratnya risiko yang harus dihadapi masyarakat baru terpuaskan jika bisa mudik.

Kebiasaan mudik mencerminkan eratnya ikatan seseorang dengan tanah asalnya. Filsuf UGM Yogyakarta, Dr. Damardjati Supadjar, menyebutkan, pada hakikatnya mudik Lebaran adalah mengenang sangkan paraning dumadi atau mengenang asalnya. Mudik mengembalikan manusia kepada sambungan batinnya kepada keluarga dan tanah kelahirannya (Kompas, 28/3/1993).

KOMPAS/GANDUNG

Suasana mudik di Tol Cikampek (23/3/1993). Tampak sebuah mobil penuh penumpang dengan barang diikat di atas kap mobil meninggalkan Jakarta.

Apalagi di Indonesia, khususnya di Jawa, memiliki latar belakang sistem kekeluargaan batih. Keluarga batih yang dimaksud adalah tidak hanya keluarga inti, tetapi juga paman-bibi, kakek-nenek, keponakan, hingga cucu cicit. Dengan demikian, mudik menjadi sarana untuk memintal jalinan kekeluargaan yang terpisah secara geografis.

Berbagai tradisi juga menyertai kegiatan mudik di daerah asal. Seperti di Jawa, misalnya, ada tradisi membersihkan kuburan keluarga di desa asal yang secara praktis dilakukan bersama-sama saat Lebaran ketika semua anggota keluarga berkumpul.

Baca juga: Semarak Ngabuburit Sembari Berburu Kuliner

Tahun ini, mudik terasa lebih spesial lagi. Akhirnya, setelah dua tahun harus menunda mudik saat Lebaran, masyarakat dapat merayakan Idul Fitri dengan mendekati normal. Pandemi memang masih menjadi kendala dalam merayakan Idul Fitri bersama keluarga.

Namun, dengan tertib menerapkan protokol kesehatan, menjaga imunitas tubuh, dan sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19, kiranya semarak mudik dan perayaan Lebaran bersama keluarga dapat berjalan dengan lancar dan aman. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Menutup Celah Gelombang Covid-19 Setelah Lebaran

Artikel atau berita di atas tidak berkaitan dengan situasi apapun, diharapkan bijak dalam mempercayai atau memilih bacaan yang tepat. Terimakasih. Untuk berlangganan artikel seperti ini harap hubungi kami agar anda dapat artikel atau berita terupdate dari kami.