Kisruh Transaksi Mencurigakan Usulan Penggunaan Hak Angket DPR Mengemuka


Berikut adalah artikel atau berita tentang otomotif dengan judul Kisruh Transaksi Mencurigakan Usulan Penggunaan Hak Angket DPR Mengemuka yang telah tayang di apurboitservices.me terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Rapat dengar pendapat umum (RDPU) membahas informasi laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atas pemasalahan di Kementerian Keuangan digelar di ruang rapat Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Rapat yang dihadiri Mahfud MD dan Kepala PPATK yang juga Sekretaris Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Ivan Yustiavandana berlangsung selama enam jam, mulai pukul 15.00 hingga pukul 23.00.

Mahfud diundang untuk dimintai klarifikasi terkait pernyataannya mengenai dugaan adanya transaksi mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Di hadapan anggota Komisi III DPR, Mahfud mengakui, data yang dia miliki berbeda dengan data yang dipaparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (27/3/2023).

Saat itu, Sri Mulyani menjelaskan, dari 300 surat dengan total transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun, bagian yang benar-benar terkait dengan pegawai Kemenkeu sebesar Rp 3,3 triliun. Sementara bagian lainnya menyangkut transaksi korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu (Kompas, 28/3/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, saat hadir untuk rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di ruang rapat Komisi III Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Terhadap perbedaan data itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengingatkan bahwa pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sejatinya bertujuan agar penanganan TPPU dapat terkoordinasi dengan baik. Namun, ia menyayangkan, hal yang terjadi saat ini justru silang informasi antara pejabat satu dan yang lain.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, juga mempersoalkan perbedaan data yang disampaikan Mahfud dan Sri Mulyani. Menurut dia, perbedaan ini justru akan semakin membingungkan publik. Ia pun meminta kepada Mahfud untuk menjelaskan data transaksi mencurigakan ini secara lengkap dan terbuka agar jelas siapa pihak yang melakukan pembohongan publik. Bahkan, ia mengusulkan pembentukan panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus tersebut.

”Ini sudah menjadi pembicaraan publik, kalau bisa diselesaikan secara publik. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Uang Rp 349 triliun ini besar sekali. Untuk itu, kalau bisa bentuk pansus, supaya kita lebih mendalam,” kata Benny.

Jika Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU tidak bisa menuntaskan persoalan ini dengan tenggat waktu yang telah disepakati dengan Komisi III DPR, maka perlu dipertimbangkan DPR untuk membentuk pansus hak angket.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, pun sepakat dengan pembentukan pansus untuk menggunakan hak angket DPR. Apalagi, ada perbedaan penjelasan antara Mahfud dan Sri Mulyani. Menurut dia, publik perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi atas dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun itu.

”Biar semua ini clear, ada dua data berbeda, satu data pasti salah, karena kita di sini sama-sama mau cari kebenaran, maka kita harus pansus-kan. Kita pansus-kan, kita kejar, mana data yang salah, apa yang terjadi, kenapa ada data yang salah, apa yang menyebabkan ini terjadi, kemudian tindak lanjut apa terkait dengan penegakan hukum yang bisa kita kawal,” tuturnya.

Sesuai dengan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), DPR memang memiliki hak untuk menggunakan hak angket, yakni hak untuk menyelidiki sebuah persoalan. Untuk melaksanakan hak tersebut, DPR membentuk pansus.

Sementara usulan pembentukan pansus juga muncul dari anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), M Nasir Djamil. Menurut dia, jika Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU tidak bisa menuntaskan persoalan ini dengan tenggat waktu yang telah disepakati dengan Komisi III DPR, maka perlu dipertimbangkan DPR untuk membentuk pansus.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana para anggota Komisi III DPR mengikuti rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di ruang rapat Komisi III Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

”Karena angka segitu besar, pasti ada orang-orang tertentu di belakangnya. Tidak mungkin orang itu sendiri. pasti ada orang-orang berpengaruh, orang-orang kuat di belakangnya, karena jumlahnya tidak sedikit, bahkan barangkali angka yang ada bisa jauh lebih besar,” ujar Nasir.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Mulfachri Harahap, juga mendorong agar persoalan ini dibahas di pansus angket. Dengan menggunakan hak angket itu diharapkan bisa membuat terang-benderang kasus ini. ”Saya dorong ini diselesaikan lewat pansus atau apa pun yang bisa memberikan DPR melihat lebih dalam masalah ini,” tuturnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, mempersoalkan alasan Mahfud baru membongkar kasus ini ke publik. Padahal, Mahfud sudah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU selama lebih dari tiga tahun.

”Selama ini ke mana saja? Termasuk yang paling krusial ketika Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dianggap nadi dari pemberantasan korupsi, hampir tak terdengar juga suara Pak Mahfud sehingga tak salah juga orang menyampaikan, ada apa dengan Pak Mahfud? Ini berangkat dari kesadaran atau Pak Mahfud lagi menari di atas panggung supaya ada yang melamar,” kata Trimedya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, saat hadir untuk rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di ruang rapat Komisi III Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Meski banyak yang mengusulkan pembentukan pansus, masih ada sejumlah anggota yang tidak setuju. Arsul, misalnya, menilai penggunaan hak angket untuk menyelidiki temuan dugaan transaksi mencurigakan terlalu cepat. Akan lebih baik jika Komisi III mempertemukan Mahfud dan Ivan dengan Sri Mulyani untuk diklarifikasi.

Dukung RUU Perampasan Aset

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Johan Budi, mengatakan, jika RUU Perampasan Aset bisa efektif menuntaskan persoalan ini, ia akan mendukung sepenuhnya. Ia juga yakin mayoritas fraksi di DPR juga mendukung terwujudnya RUU tersebut karena terbukti sejumlah UU juga akhirnya berhasil dibentuk, seperti UU Ibu Kota Negara dan UU Cipta Kerja.

Hinca Panjaitan juga mendukung penuh RUU Perampasan Aset jika RUU itu dianggap urgen untuk mengatasi persoalan ini. Bahkan, ia setuju jika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perampasan Aset.

”Buat saja perppunya kalau memang benar-benar kegentingan memaksa. Jangan DPR juga yang terus disalahkan. Karena inisiatifnya itu datang dari pemerintah. Karena kegentingan memaksa menyelamatkan ratusan triliun untuk bangsa dan negara. Kita sama-sama membongkar ini,” ucap Hinca.

Artikel atau berita di atas tidak berkaitan dengan situasi apapun, diharapkan bijak dalam mempercayai atau memilih bacaan yang tepat. Terimakasih. Untuk berlangganan artikel seperti ini harap hubungi kami agar anda dapat artikel atau berita terupdate dari kami.